Blog ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Sosial untuk Psikologi: Filsafat Manusia, Sosiologi, dan Antropologi

Sunday, March 30, 2014

Satinah: Di Pancung atau Di Selamatkan?

Kontroversi soal penyelamatan Satinah belakangan ini cukup menghiasi halaman media massa. Terutama terkait dengan diyat. Diberitakan bahwa Satinah adalah seorang TKI asal Ungaran, Jawa Tengah, ini terbukti dan sudah mengakui bahwa dirinya telah merampok dan membunuh majikannya di Arab Saudi. Untuk bisa membebaskan Satinah dari hukuman pancung, pengadilan Arab Saudi memutuskan Satinah untuk membayar uang diyat sebesar Rp 21 Miliar.

Pro dan kontra berkembang di masyarakat atas kasus ini. Banyak mereka yang pro beranggapan bahwa ini merupakan salah satu tanggung jawab pemerintah atas warga negaranya, membebaskan buruh migran dari hukuman mati juga sangat terkait upaya menjaga martabat bangsa di mata international. Tetapi, bagi mereka yang kontra mendukung hukuman pancung tersebut dan beranggapan bahwa pemerintah tidak perlu bertanggung jawab atas seseorang yang melukukan tindakan kriminal.

Haruskah pemerintah membayar 21 Miliar untuk seorang kriminal?

Menurut saya jawabannya adalah TIDAK. Karena hal ini tentu tidak logis ketika Indonesia yang disebut-sebut sebagai negara hukum justru mengorbankan dana yang begitu besar untuk seorang kriminal. Rp 21 Milliar adalah dana yang seharusnya dapat digunakan untuk pembangunan dan memberi kesejahteraan rakyat tidak seharusnya digunakan untuk menebus seorang kriminal.

Saya tidak mengerti dengan apa yang ada di kepala sebagian besar masyarakat kita ketika menanggapi rencana eksekusi pancung Satinah. Dukungan moril tak hentinya mengalir, bahkan beberapa publik figur secara gamblang mengajak semua pihak untuk mendukung aksi ‘solidaritas’ ini dengan pengalangan dana demi pembayaran diyat sebesar 21 milliar yang akan menyelamatkan nyawa Satinah.

Memang benar, bahwa aksi solidaritas itu harus diapresiasikan. Tetapi saya sangat menyayangkan jika atas dasar kata ‘solidaritas’ ini dapat membuat tindakan kriminal semakin bertambah. Hal ini dapat menimbulkan dampak negatif, misalnya para TKI lainnya juga melakukan hal serupa dengan pemikirannya “Tak apa melakukan perampokan atau pembunuhan, lagipula nanti pemerintah juga akan membayar diyat”. Apalagi nanti tenaga kerja yang bebas dari hukuman ini disambut bagaikan pahlawan ketika kembali pulang ke Indonesia.

Lagi pula dengan membayar diyat sebesar itu, apa untungnya bagi pemerintah dengan menebus seorang pembunuh ini? Nah, seharusnya kita lebih cermat lagi dalam menanggapi kasus seperti ini. Jangan terjerumus dengan beberapa pihak yang menjual slogan solidaritas dan kemanusiaan demi menghapus kejahatan yang dilakukan oleh seseorang. Do the best to save our citizen, tapi jangan sampai sampai kita dijadikan korban ‘pemerasan’ dari pihak-pihak ini.

No comments:

Post a Comment